Hoax: Istri Napi Teroris Mako Brimob ditelanjangi Polisi Laki-Laki

Anti Berita Hoax


Istri tahanan Mako Brimob ditelanjangi polisi laki-laki
Narasi :
Istri tahanan mau bezuk ditelanjangi sampe tinggal celana dalam ,itupun masih disuruh loncat2 , ini dilakukan oleh polisi laki2 .. Kurang Anjing apalagi kelakuan spt ini ? Via @TirtoID

postingan tersebut di-posting oleh beberapa akun Facebook di antaranya : Azra Bima Fauzan, Hanapi Han, dan Mat Ipin
Penjelasan :
dalam tautan yg disampaikan oleh ketiga akun tersebut hanya tertulis :

***Kedua, masalah besukan. Ini masalah klasik yang kami sudah peringatkan. Kami sudah bicarakan baik-baik tapi dalam prosedur pemeriksaan di depan (pos pemeriksaan) akhwat kami ditelanjangi.
Itu terkadang mereka sudah pakai celana dalam, disuruh loncat jongkok. Ini dengan tujuan kalau ada barang terlarang bisa jatuh karena disuruh loncat-loncat. Ini satu hal yang tidak manusiawi menurut kami. Tapi apa yang jadi keluhan ikhwan soal ini sudah saya sampaikan.***
tidak menyebutkan apakah polisi yg melakukan penggeledahan laki-laki atau perempuan.
terkait penelanjangan pengunjung Napiter tersebut, Kepala Divisi Humas Polri membantah tuduhan tersebut.
“Enggak mungkin lah kalau itu [penjenguk ditelanjangi]. Hoaks itu, saya berani jamin,” kata Setyo soal penjenguk yang disuruh telanjang.
dikutip dari : 

terlepas dari adanya perbedaan antara pernyataan Kepala Divisi Humas Polri dengan pernyataan dari Napiter Abu Qutaibah, faktanya tidak ada satu pun sumber berita yang menyatakan bahwa Istri /Akhwat pengunjung Napiter di Mako Brimob ditelanjangi oleh polisi laki-laki.
KESIMPULAN : DISINFORMASI
Referensi :

Rekaman Negosiasi Aman Abdurrahman & Wakil Tahanan Mako Brimob
tirto.id - Siapa sangka orang paling berpengaruh dalam jejaring Negara Islam (ISIS) di Indonesia saat ini, Aman Abdurrahman, dipakai oleh pihak kepolisian untuk meredam gejolak kerusuhan yang terjadi di Rumah Tahanan Mako Brimob?
Dalam rekaman yang kami dapat, berdurasi 1 menit 58 detik, Aman diketahui meminta para pengikutnya untuk melunak dan menyerahkan diri. Meski begitu, Aman tidak tahu sebetulnya apa yang terjadi.
Rekaman ini kemudian direspons balik oleh para tahanan di dalam penjara, yang pada waktu itu masih terkepung. Redaksi Tirto mendapat rekaman itu, dengan durasi 11 menit 35 detik. Jawaban dari pihak tahanan diwakili oleh Ruri Alexander Rumatarai alias Iskandar alias Abu Qutaibah.
Dari ucapan Aman, terungkap bahwa Abu Qutaibah adalah sosok yang dihormati dan dihargai di antara seluruh tahanan. Qutaibah ditangkap pada 7 Juni 2017. Ia diduga terlibat dalam kasus bom Kampung Melayu. Ini bukan kali pertama ia masuk penjara. Pada 2013, Qutaibah ditangkap dan divonis dua tahun penjara karena terlibat dalam jaringan Abu Roban di Bima.
Berikut transkrip dari perkataan Aman Abdurrahman dalam rekaman tersebut:
Bismillahirrahmanirrahim, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kepada Ikhwan semua, saya Aman Abdurrahman mendengar laporan yang baru. Laporan dari pihak Densus bahwa ada kekisruhan di tempat antum dan menurut laporan sementara itu karena urusan dunia sehingga terjadi hal-hal yang tidak sepatutnya terjadi.
Sampai saya dapat penjelasan yang sebenarnya dari pihak antum, untuk malam ini agar meredam dulu. Dan mungkin yang bukan penghuni, agar keluar dulu dan besok lusa nanti utusan dari antum bisa minta ketemu dengan ana agar bisa menjelaskan masalah yang sebenarnya.
Karena untuk masalah urusan dunia tidak pantas terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kecuali masalah prinsipil yang tidak bisa ditolerir, baru itu dipermasalahin.
Tapi untuk lebih jelasnya, besok lusa ana bisa minta penjelasan orang yang dituakan di antara antum, Ustaz Muslih, Ustaz Alex Iskandar, atau yang lainnya.
Untuk malam ini agar meredam dulu. Agar bukan penghuni biar pada keluar dulu saja. Itu saja mungkin dari ana. Mudah-mudahan bisa dipahami karena tidak ada manfaat juga bikin keributan di kandang singa, mungkin seperti itu.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban Abu Qutaibah dari Pihak Napi Kasus Terorisme
Selang beberapa menit setelah tahanan menerima rekaman Aman, pihak perwakilan tahanan lewat Abu Qutaibah tampil sebagai negosiator. Ia berbincang kepada Aman musabab dan kronologi bagaimana kerusuhan itu bisa terjadi.
Berikut rekaman dan transkrip dari Abu Qutaibah dalam rekaman yang ditujukan kepada Aman:
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kepada Ustadz Al Habib Aman Abdurrahman. Ana Abu Qutaibah Iskandar aka Alexander memberikan penjelasan seputar kronologi yang terjadi pada peristiwa insiden antara ikhwan dan petugas Densus 88, bada asar sore hari.
Jadi ini berawal dari semua permasalahan yang sudah dikumpul-kumpul, diakumulasi oleh ikhwan-ikhwan. Dari mulai masalah pembatasan tentang hak-hak, makanan, kemudian masalah besukan dan sebagainya.
Jadi puncaknya ketika ada ummahat (istri) yang datang dari rumah singgah ke Jakarta Barat. Dia membawa bingkisan titipan dari ikhwan yang ada di rumah singgah. Oleh petugas, seakan-akan mereka dibohongi. Barang itu tidak boleh masuk tapi kata mereka (polisi) itu sudah masuk. (kebohongan) Ini tidak bisa diterima ikhwan-ikhwan.
[bisik-bisik dengan kawannya]
Karena saya sendiri yang ikut, pada saat itu saya dipanggil oleh Pak Ahmad, (di situ) ada juga Ustadz Amir dan perwakilan dari blok tahanan.
Pak Ahmad mengatakan kalau barang itu (titipan) jangan bawa barang dari sidang. Kalaupun barang itu sudah telanjur masuk, suruh petugas yang bawa supaya tidak repot-repot diperiksa, asalkan jangan bawa barang terlarang. Inilah yang saya sampaikan kepada ikhwan.
Terus setelah itu apa yang terjadi, ummahat ini di persidangan seakan dibohongi oleh petugas. Jadi, setelah dicek barang-barang yang titipan ummahat itu tidak ada, ternyata mereka dilarang masuk atau memberikan akses.
[Terdengar orang berbisik dan berkata, "Keluhan ini sudah diperingatkan kepada mereka.]
Jadi sudah dikasih tahu ke mereka (polisi), tapi seakan-akan mereka mengabaikan. Saya sebagai juru bicara ikhwan dari tiga blok ini menyampaikan ke mereka (polisi) yang tujuan saya ini sebagai mediasi antara ikhwan dan petugas.
Tapi, malam itu, sekali lagi adalah akumulasi dari kejadian yang ada. Jadi pertama adalah makanan yang diberi ummahat.
Kedua, masalah besukan. Ini masalah klasik yang kami sudah peringatkan. Kami sudah bicarakan baik-baik tapi dalam prosedur pemeriksaan di depan (pos pemeriksaan) akhwat kami ditelanjangi.
Itu terkadang mereka sudah pakai celana dalam, disuruh loncat jongkok. Ini dengan tujuan kalau ada barang terlarang bisa jatuh karena disuruh loncat-loncat. Ini satu hal yang tidak manusiawi menurut kami. Tapi apa yang jadi keluhan ikhwan soal ini sudah saya sampaikan.
Pada malam itu (saat kejadian), kami meminta Budi sebagai penanggung jawab dan atasannya, Ahmad, untuk datang. Tapi nyatanya mereka mengatakan Budi enggak bisa datang, karena jauh. Sementara akhwat yang datang dari Depok datang ke Jakarta Barat dengan jarak tidak dekat.
Terus, untuk menyelesaikan persoalan, petugas ternyata tidak bisa datang. Harusnya ya minimal memberikan penjelasan kepada kami, supaya kami ini lega. Kalau kami bicara dengan sipir-sipir di bawah sini mereka kan tidak paham, karena mereka juga punya kebijakan yang ada tekanan dari atasan.
Nah, Budi semalam itu sudah mengatakan barang-barang yang disita dari rumah singgah akan dia masukkan. Tapi saya sekali lagi tidak bisa membendung ikhwan-ikhwan. Belum saya mau bicara dengan dia, ikhwan di sini keburu marah.
Akhirnya terjadilah penggedoran oleh ikhwan-ikhwan ke depan. Ya kemarin itu sebenarnya bukan soal makanan yang diambil, kita minta Budi itu datang memberikan penjelasan.
Tapi jawaban [yang kami terima], Budi enggak bisa datang karena katanya jauh. Pokoknya saya sudah mentok, saya enggak bisa membendung ikhwan-ikhwan ini, saya sudah berusaha membendung tapi insiden ini di luar dugaan saya.
Akhirnya, semua ikhwan keluar blok. Ketika mereka sampai dengan kemarahan mereka di kantor sipir, ada petugas Densus yang mengeluarkan tembakan kemudian ikhwan kami terluka, satu orang.
Kemudian ada lagi yang berdiri di depan itu mereka (polisi) tembak. Yang Insyaallah (dia) syahid. Itu dia Abu Ibrahim.
Wallahu a'lam ini semua di luar dugaan kami. Jadi kalau pihak Densus menyalahkan kami, tidak bisa. Karena insiden ini tidak ada rencana sebelumnya.
Wallahi, ini insiden yang spontan. Saya juga sudah berusaha beberapa kali menjadi mediator, jadi penyambung lidah ikhwan. Mungkin ini reaksi balik karena ikhwan kita ada yang tertembak jadi qadarullah. Di dalam juga ada Densus. Terjadilah hal-hal di luar dugaan kami.
Wallahu a'lam bishawab, inilah keterangan singkat dari ana untuk menjelaskan kronologi yang terjadi semalam.
Semalam petugas meminta saya untuk bicara tapi saya tidak mau bicara, karena saya juga sudah enggak sanggup untuk bicara. Sebab cara-cara yang saya kedepankan itu sudah saya lakukan. Saya sudah bicara dengan mereka. Tapi ini malah mengundang kemarahan ikhwan semua.
[Diskusi dengan rekan di sampingnya]
Jadi di sini, akibat dan reaksi dari luar yang menembak duluan kami. Sekarang kami di dalam ini semua pegang senjata. Pokoknya banyak, yang kami dapatkan dari gudang-gudang yang disimpan di atas, dengan peluru-peluru yang Insyaallah cukup.
Jadi opsi ditawarkan oleh ikhwan-ikhwan adalah kita damai. Damai ini pun juga keinginan dari kepolisian. Kemudian kita mengajukan poin-poin:
Pertama, ini tutup kasus. Jadi tidak ada yang dizalimi ikhwan-ikhwan. Itu keinginan kami semua di sini setelah kami rapat.
Kedua, kami meminta ikhwan yang di Pasir Putih (Lapas Nusakambangan) diberikan kelonggaran. Karena kami mendengar berita terakhir ada laporan pelanggaran HAM di sana. Info ini didapat dari istri yang besuk ke sana. Katanya kondisi mereka sangat memprihatinkan.
Kalau dua kesepakatan ini mentok, kami akan bicarakan lagi dengan ikhwan di sini. Kami akan rapat lagi.
Jadi, kami menahan diri dan bertahan di dalam. Ya walaupun kami tahu Polisi sudah ada iktikad memenuhi apa yang kita inginkan, tapi ikhwan di sini berjaga.
Mungkin ini saja keterangan dari kami, uztadz. Kami minta antum bicara karena ini adalah permintaan ikhwan semua.
Terus permintaan ikhwan agar antum berbicara di sini, entah itu antum didampingi mereka, (polisi) atau bagaimana. Yang jelas harus berbicara di depan kami. Itu yang diinginkan ikhwan semua.
Wallahu a'lam bishawab wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selang beberapa jam setelah percakapan lewat rekaman terpisah dengan Aman Abdurrahman, para tahanan akhirnya menyerahkan diri sebelum subuh. Namun tak pasti apakah faktor Aman ini jadi penentu atau tidak. Sebab Wakapolri Komjen Syafruddin tetap bersikukuh bahwa saat mereka mengatasi aksi pemberontakan tahanan dan terdakwa kasus terorisme di Mako Brimob, ia mengklaim tak ada proses negosiasi, kesepakatan, maupun tawar-menawar antara petugas kepolisian dan para tahanan.
Polisi Jawab Tuduhan Penelanjangan Pembesuk Rutan Mako Brimob
“Enggak mungkin lah kalau itu [penjenguk ditelanjangi]. Hoaks itu, saya berani jamin,” kata Setyo saat diklarifikasi.

tirto.id - “[....] Kami sudah bicarakan baik-baik tapi dalam prosedur pemeriksaan di depan [pos pemeriksaan] akhwat kami ditelanjangi.”
Pengakuan itu terungkap dari rekaman suara negosiator pihak narapidana terorisme, Abu Qutaibah alias Iskandar alias Alexander dalam kronologi penyebab kejadian ricuh di rutan cabang Salemba di Komplek Mako Brimob, Kelapa Dua, Selasa malam (8/5/2018). Berdasarkan rekaman itu, penyulut ricuh ditengarai bukan hanya soal makanan, melainkan juga terkait prosedur besuk yang dinilai tidak manusiawi.
Menanggapi hal itu, sejumlah anggota Komisi III DPR menganggap pemeriksaan terhadap penjenguk narapidana terorisme di rumah tahanan cabang Salemba di Kelapa Dua, Kompleks Mako Brimob sampai harus telanjang badan sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenhumkam).
“Dalam konteks terorisme memang ada perlakukan khusus tentang penjenguknya. Karena prosedurnya demikian. Harus digeledah sedetail mungkin agar tidak membawa senjata dan lain-lain,” kata anggota Komisi III DPR, Taufiqulhadi kepada Tirto, Jumat (11/5/2018).
Peraturan itu, kata Taufiqulhadi, tertulis dalam Permenkumham Nomor 33 tahun 2015 tentang Pengamanan Pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Menurut dia, dalam Pasal 4 ayat 1 peraturan tersebut klasifikasi pengamanan dibedakan menjadi empat, yakni: pengamanan sangat tinggi, tinggi, menengah, dan rendah.
“Terorisme itu masuk kepada pengamanan sangat tinggi,” kata Taufiqulhadi.
Dalam Pasal 4 ayat 3 poin (a) dijelaskan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengamanan sangat tinggi, yaitu dilengkapi dengan pengamanan berlapis, pos menara atas, pos bawah, penempatan terpisah, pengawasan closed circuit television, pembatasan gerak, pembatasan kunjungan dan pembatasan kegiatan pembinaan, serta pengendalian komunikasi.
Sementara, untuk penggeledahan disebutkan di Pasal 12 ayat 1 dan 2. Ayat 1 menyebutkan penggeledahan meliputi badan, barang, sel, area dan kendaraan. Sementara, ayat 2 menyatakan penggeledahan menjadi wewenang anggota satuan pengamanan yang ditunjuk, satuan tugas keamanan dan ketertiban divisi pemasyarakatan pada kantor wilayah hukum dan HAM, dan satuan tugas keamanan dan ketertiban dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
“Yang paling penting siapa penggeledahnya? Harus petugas perempuan. Dan itu dilakukan di Mako Brimob,” kata Taufiqulhadi.
Akan tetapi, dalam peraturan tersebut tidak disebutkan satupun terdapat bentuk penggeledahan pengunjung rutan sampai telanjang badan. “Memang tidak ada, tapi itu saya pikir prosedur yang tepat. Kalau mereka bisa bebas masuk bisa menyelundupkan yang aneh-aneh, seperti senjata,” kata Taufiqulhadi.
Hal senada diungkapkan Anggota Komisi III DPR lainnya, Masinton Pasaribu. Politikus PDIP ini berkata, pemeriksaan terhadap penjenguk semacam itu adalah bagian teknis pengawasan yang memang harus dilakukan petugas lapas atau rutan.
“Pemeriksaan terhadap setiap penjenguk mutlak harus dilakukan, apalagi terhadap tahanan kasus terorisme dan terorganisir. Teknis pemeriksaan bisa dilakukan di tempat tertutup,” kata Masinton kepada Tirto.
Polisi Anggap Hoaks
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto tak mau berkomentar banyak soal rekaman tersebut. Ia mengaku belum mengetahui perihal tersebarnya rekaman yang diduga berasal dari dalam rutan Salemba cabang Mako Brimob Kelapa Dua itu.
“Saya belum lihat itu,” kata dia. “Saya tidak ngomong soal itu,” ujarnya sekali lagi ketika ditanyakan untuk kedua kalinya. 
“Enggak mungkin lah kalau itu [penjenguk ditelanjangi]. Hoaks itu, saya berani jamin,” kata Setyo soal penjenguk yang disuruh telanjang.

Pernyataan Setyo ini bertolak belakang dengan pengakuan Abu Qutaibah dalam rekaman suara yang disampaikan kepada Aman Abdurrahman. Berdasarkan rekaman itu, mereka keberatan dengan prosedur pemeriksaan para penjenguk napi terorisme di rutan cabang Salemba di Komplek Mako Brimob.
Abu Qutaibah secara tegas menyebut soal pembesuk napi yang ditelanjangi. “Itu terkadang mereka sudah pakai celana dalam, disuruh loncat jongkok. Ini dengan tujuan kalau ada barang terlarang bisa jatuh karena disuruh loncat-loncat. Ini satu hal yang tidak manusiawi menurut kami. Tapi apa yang jadi keluhan ikhwan soal ini sudah saya sampaikan,” ujarnya dalam rekaman itu.
Pemeriksaan model itu, menurut Qutaibah, menyebabkan para napi terorisme marah. Ditambah lagi terdapat peristiwa soal kiriman makanan dari keluarga yang tidak sampai kepada para napi. Sehingga, akhirnya kericuhan tidak dapat terelakkan.
“[...] Jadi kalau pihak Densus menyalahkan kami, tidak bisa. Karena insiden ini tidak ada rencana sebelumnya. Wallahi, ini insiden yang spontan. Saya juga sudah berusaha beberapa kali menjadi mediator, jadi penyambung lidah ikhwan. Mungkin ini reaksi balik karena ikhwan kita ada yang tertembak jadi qadarullah. Di dalam juga ada Densus. Terjadilah hal-hal di luar dugaan kami,” kata Qutaibah.
Perihal pengakuan Qutaibah ini, Anggota Komisi III DPR, Akbar Faisal tidak mempercayainya. Menurut Akbar, para napi terorisme itu sudah terlatih berbohong dan beralibi. “Mereka itu selalu bisa menutupi kejadian sebenarnya dan beralibi untuk membenarkan pembunuhan keji yang mereka lakukan,” kata dia kepada Tirto.
Akbar pun menyatakan, apapun alasan dari kericuhan tersebut, tetap saja tidak bisa dibenarkan karena telah membuat enam nyawa melayang. Lima dari pihak kepolisian dan satu dari pihak napi terorisme.
Pengelolaan Rutan Mako Brimob
Sementara peneliti di Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai, keluhan yang disampaikan narapidana teroris merupakan masalah pengelolaan rutan di Kompleks Mako Brimob. Erasmus berkata, larangan menerima makanan serta penelanjangan pengunjung merupakan hal wajar dalam standar keamanan rutan.
Penggeledahan bisa dilakukan petugas, kata Erasmus, apabila mereka mencurigai pengunjung napi. Ia menganalogikan dengan pemeriksaan penumpang pesawat. Menurut Erasmus, petugas bisa memeriksa badan, hingga menelanjangi jika diperlukan. Namun, penggeledahan tubuh pengunjung harus sesuai protap internal rutan atau lapas.
Meskipun dinilai wajar, tetapi Erasmus menanyakan konsep pengamanan di lingkungan rutan di Kompleks Mako Brimob itu. Menurut dia, berdasarkan Pasal 22 ayat 1 KUHAP polisi memang diperbolehkan mempunyai rutan, tapi dengan syarat bahwa tidak ada rutan lain di daerah hukum tempat kepolisian berada. Rutan itu pun berstatus cabang rutan, yaitu rutan yang tidak memenuhi standar pemasyarakatan.
Baca juga:
Kecerobohan Polri dalam Insiden Mako Brimob
Kasus-Kasus Pendudukan Penjara yang Menghebohkan

Erasmus mencontohkan, pengelola rutan cabang berbeda dengan pengelola rutan resmi di bawah Kemenkumham. Rutan yang di bawah Kemenkumham akan langsung dimonitor oleh Ditjen Pemasyarakatan. Akan tetapi, rutan cabang Mako Brimob akan menerapkan standar kepolisian. Rutan Mako Brimob punya "otoritas" sendiri karena tidak dikelola di bawah Kemenkumham.
“Seluruh pengelolaan rutan yang di bawah kepolisian tidak di bawah Kementerian Hukum dan HAM, itu pengelolaannya di bawah kepolisian meskipun secara nomenklatur, secara administrasi dia cabang rutan,” kata Erasmus.
Erasmus menambahkan “jadi [rutan cabang Salemba] Mako Brimob itu kayak KPK, rutan KPK. Itu, kan, cabang rutan. Itu harusnya pengelolaan di Kumham, tapi budget dan lain-lain itu masuknya ke dalam budget-nya masing-masing lembaga. Itu yang bikin ribet.”
Selain itu, karakter psikologi penanganan tahanan atau narapidana antara Ditjen Pemasyarakatan dan polisi berbeda. Polisi tidak dididik untuk memberikan pelayanan seperti petugas pemasyarakatan. Menurutnya, polisi merupakan penyidik yang bisa memanggil atau memperlakukan tahanan untuk kepentingan penanganan perkara. Ia mencontohkan, bisa saja mereka memanggil tahanan pukul 12 malam tanpa surat pemanggilan.
Menurut Erasmus, hal ini berbeda dengan petugas pemasyarakatan yang paham dalam menangani psikologi orang, baik low risk hingga high risk. Situasi perbedaan perilaku ini yang akhirnya menyebabkan terjadi gesekan antara napi dengan petugas.
“Poin saya adalah gesekan itu kemarin bisa terjadi mungkin karena sentimen antara penyidik dan tahanan,” kata Erasmus.
Karena itu, Erasmus menyarankan supaya tahanan dan penyidik tidak ditempatkan dalam satu kompleks yang sama. “Dalam kacamata lebih luas yang kayak kasus sekarang, gesekan itu bisa diminimalisir kalau misalnya mereka ini tidak ditempatkan di satu lokasi dengan penyidiknya,” kata Erasmus.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Sri Puguh Utami membenarkan jika rutan yang terletak di dalam Mako Brimob Polri merupakan cabang rutan Salemba. Dasar pendiriannya, kata dia, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang: Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
“Jadi di PP itu menteri bisa membentuk cabang Rutan,” ujar Sri Puguh Utami melalui sambungan telepon kepada Tirto, Kamis malam (10/5/2018). Ia menyebut jika tanggung jawab pengelolaan rutan itu berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
Ketika disinggung siapa yang bertanggung jawab atas kericuhan di Blok Khusus Tahanan Pidana Tindak Terorisme Rutan Cabang Salemba di Kelapa Dua, Kompleks Mako Brimob, ia tak bisa menjawab dengan tegas. “Mestinya kami yang bertanggung jawab mengenai itu [kericuhan]” kata Sri.
Sri menjawab dengan hati-hati terkait pertanyaan ini. Ia menjelaskan selama ini pengelolaan dan pengawasan tahanan justru dipegang Brimob dengan alasan berada dalam wilayah milik Polri. Ia pun mengaku tak mengetahui berapa jumlah tahanan non-tindak pidana teroris yang kini di kurung di Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob itu.
“Kalau pengelolaan dan pengawasan itu saat ini ada di bawah Brimob, karena kami kekurangan pegawai,” kata Sri meyakinkan jika kericuhan mengakibatkan lima orang anggota polisi tewas dan satu terdakwa tindak pidana terorisme itu, mau tak mau, juga menjadi tanggung jawab Kemenkumham.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hoax: Istri Napi Teroris Mako Brimob ditelanjangi Polisi Laki-Laki"

Post a Comment